Sebelum
hari itu, selain kecerdasanmu, tak ada hal lain yang terlalu menarik bagiku.
Hingga tanpa kusadari,mata ini selalu mencari keberadaanmu, telingaku tak lelah
menanti suara langkah kakimu, sekalipun langkah itu untuk menjauh dariku. Kau bahkan
tak pernah berusaha untuk melihat kearahku, Kau takkan pernah menyadari bahwa Aku
tak pernah berhenti berusaha menjadi yang terbaik bagimu. Aku tak pernah
mengharapkan sebuah balasan. Hanya sebuah pengakuan, dan berhentilah menutup
mata. Maka Kau akan melihat ketulusan yang nyata.
Ide
aneh yang Kau katakan tak dapat kuterima, meski akhirnya kuanggap itu benar. Mungkin
ego telah mengacaukan segalanya, membuatku seolah menjadi orang yang tak pernah
menghargaimu. Tapi, apa Kau pernah peduli dengan hal itu? Kurasa tidak.
Sekarang
Aku berharap Kau mulai bosan dengan ponselmu dan mulai memperhatikan
sekelilingmu. Memperhatikanku? Hei khayalan bodoh apa lagi yang tercipta dalam
otakku ini? Khayalan yang takkan pernah meloloskanku dari kegundahan hati.
Aku
selalu mengenang hari itu, saat Aku melihatmu untuk pertama kalinya. Tingkahmu
membuatku ragu, penampilanmu tak mencerminkan sifatmu, meski Kau lebih baik
dari kelihatannya. Lebih dari sekedar ‘baik’, Kau bahkan luar biasa. Tak dapat
kusebutkan satu persatu, tapi semua yang ada pada dirimu memang terlalu indah. Sampai
kapan Kau akan terus tinggal di hatiku? Pergilah! Aku tahu kita tak akan pernah
bisa bersatu. Bagaimana bisa Aku mengimbangimu? Kau begitu hebat dilihat dari
sisi manapun, mengagumimu saja sudah membuatku tersiksa.
Aku yakin Kau juga ingat hari itu, meski tak
menganggapnya sebagai sesuatu yang berarti. Karena “arti” itu hanya Aku sendiri
yang tahu. Karena semenjak hari itu berlalu, Kau selalu setia mengisi angan-anganku yang selalu Kau hancurkan
dengan sikap datarmu. Sikap yang sama-sama kita pertahankan, meski dengan
maksud yang berbeda. Tertawaanmu, hanya itulah yang Aku dapat. Kau bisa
menertawakanku, tapi tak pernahkah terlintas dalam hatimu untuk memberikan
senyum tulus itu? Senyum yang takkan Kau berikan pada orang lain. Senyuman yang
tak pernah kudapatkan bahkan dalam mimpi sekalipun.
Entah
ini benar atau salah, baik atau buruk, Aku tak peduli. Yang pasti Aku menikmati
setiap sentuhan lembut telapak tanganmu saat keadaan mengharuskan kita berjabat
tangan. Aku menikmati setiap detik yang Aku lalui saat berada disampingmu,
karena Aku memang hanya memiliki waktu beberapa detik. Selebihnya, Kau selalu
sibuk sendiri. Kau adalah temanku, seharusnya berada didekatmu akan terasa begitu
biasa. Tapi mengapa rasa itu harus ada? Terkadang Aku menyalahkan hati atas
perasaan yang ia miliki. Rasa itu menjauhkan yang dekat, mempersulit yang
mudah, mempertebal sekat antara Kau dan Aku, menahan semua kata yang seharusnya
bisa kuucapkan dengan mudah. Rasa yang Membuat sesuatu yang sederhana menjadi
begitu berharga. Rasa yang tak pernah meloloskan hati ini dari kegelapan yang
membutakan. Rasa ketika Aku merasa bahagia dengan setiap kata yang Kau ucapkan
untukku…manisnya suaramu takkan pernah kulupa. Rasa ketika hatiku tenang saat
tahu Kau ada disisiku. Meski ‘ada’ tak berarti kita bisa bersama. Rasa yang
membuatkku tak berani manatap matamu. Rasa yang membuatku bisa bersikap baik
saat bahkan saat Kau tak meminta bantuanku. Ketahuilah Kau beruntung, karena Aku
tak bisa baik pada setiap orang.
Saat
ini atau suatu saat nanti Aku akan merasa bahagia pernah berada di ruangan yang
sama denganmu. Pernah berada begitu dekat denganmu, meski orang lain takkan
melihatnya sebagi sebuah keindahan karena perbedaan kita. Aku takkan pernah
menyalahkan Tuhan atas apa yang ia berikan, Aku hanya besyukur karena perbedaan
itu menyadarkanku untuk tetap realistis. Karena ia telah mengingatkanku bahwa Kau
ditakdirkan hanya untuk jadi mimpi bagiku. Sampai kapan rasa itu akan bertahan Aku
bahkan belum mengetahuinya. Tapi Aku yakin ini takkan lama.
Memang
tak adil rasanya, ketika Kau tak memiliki perasaan yang sama denganku. Tapi
jika rasa itu ada padamu, hidup ini takkan berwarna, terlalu sempurna, bahkan
tak layak untuk disebut sebagai sebuah ‘cerita’. Dan seandainya rasa itu
benar-benar ada pada dirimu, jemariku takkan tergerak untuk menuliskan hal
bodoh ini.
Aku
tahu suatu hari nanti Aku akan tertawa membaca tulisan ini. Atau mungkin Aku
akan menyesal dengan perasaan yang pernah Aku miliki, tapi Aku takkan pernah
menyesali keberadaanmu disisku. Kau juga akan tertawa jika membaca ini, tapi Aku
takkan terlalu bodoh untuk memberitahumu. Karena Aku akan menyesalinya jika Kau
tak memiliki perasaan yang sama.
Adalah
hari dimana rasa itu telah menghilang. Karena sekali menghilang, rasa itu
takkan pernah kembali. Bisa hilang karena waktu, atau karena Aku yang
menginginkannya. Aku menulis ini karena tahu ia akan benar-benar menghilang
bersama Kau yang pergi sebelum dapat Aku miliki. Kau yang menghilang sebelum
mulut ini berani berucap. Rasa itu akan hilang karena Kau ditakdirkan hanya
untuk jadi mimpi bagiku. Rasa itu hilang karena Kau tak memiliki perasaan yang
sama.
Kau
mungkin takkan menyadari bahwa setiap hal yang ada pada dirimu tak pernah luput
dari perhatianku. Tapi mengapa sikapmu berubah sejak saat itu, Aku selalu
bertanya apa salahku padamu. Dan Aku tak pernah menemukan jawabannya. Mungkinkah
ini caramu untuk membuat rasa itu segera memudar. Jika Kau benar-benar melakukannya,
itu sama saja dengan menghilangkan kebahagiaan yang selama ini ku syukuri. Tapi
tak mengapa, sekali lagi Aku ingat Kau ditakdirkan hanya untuk menjadi mimpi
bagiku. Tak lebih.
Tetapi
Kau harus tahu, ketika Aku mendoakan kebaikan untukku, itu berarti Aku juga
sedang mendoakanmu, karena Aku ingin hidup bahagia dalam kebaikan bersamamu.
Meski sekali lagi tulisan ini menyadarkanku bahwa Kau ditakdirkan hanya untuk
menjadi mimpi, dan pembawa kebahagiaan bagiku meski hanya sementara. Karena Kau
akhirnya akan mengecewakanku juga. Tapi tenanglah, Kau tak perlu merasa
bersalah. Karena yang membuatku terluka adalah perasaanku sendiri, dan bukan Kau.
Kadang
waktu terasa begitu kejam karena tak pernah menyatukan Kau dan Aku dengan cara
yang indah.
Rasa itu nyata, namun mimpi tetaplah akan menjadi mimpi.
Piya
Tasikmalaya,
27 Desember 2014
0 comment (s):
Posting Komentar